Drogba berKTP Inggris?
Yah Drogba
sepertinya berKTP Inggris, demikian pula dengan kakak beradik Yaya dan Kolo
Toure, juga Gervinho. Kenapa saya bisa
menyatakan demikian? Ini mungkin berawal dari kekesalan saya terhadap kekalahan
Pantai Gading atas Zambia pada laga final piala Afrika dini hari tadi. Saya
bukan penggemar berat Pantai Gading apalagi Zambia. Buat saya Pantai Gading dan
Zambia sama-sama layak berada di partai final. Bedanya adalah Pantai Gading
merupakan tim yang bertabur bintang yang rata-rata pemainya bermain di liga Eropa.
Sebutlah Didier Drogba dan Salomon Kalou (Chelsea), Yaya dan Kolo Toure
(Manchester City), dan Gervinho (Arsenal). Tapi prestasi mereka di kancah
internasional tak segemerlap prestasi mereka di level Klub.
Kenapa bisa
demikian? Analisa ngawur saya adalah mereka sudah terlalu lama tinggal di
Inggris dan bermain bola dengan gaya Inggris sehingga lupa cara bermain ala
Pantai Gading. Alasan yang kedua mungkin karena motivasi mereka untuk membela
negara lebih kecil dari motivasi mereka membela klub masing-masing.
Ini yang menjadi concern saya. Bahwa membela negara
terkadang menjadi persoalan yang berat untuk dilakukan. Membela negara adalah
berkorban demi negara. Contoh ekstremnya adalah para pahlawan yang mengorbankan
segalanya demi negara. Didier drogba dan kawan-kawan juga. Mereka rela
meninggalkan ketatnya kompetisi liga prtimer Inggris demi membela negara di
kancah piala Afrika. Bagi seorang pemain bola, bermain di liga sebesar liga Primer
Inggris adalah impian semua pemain. Setiap caps yang mereka peroleh, setiap
assist yang mereka buat, setiap gol yang mereka cetak, merupakan kebanggaan
bagi mereka. Meninggalkan klub untuk berlaga di timnas masing-masing merupakan
pengorbanan. Mereka beresiko kehilangan gelar top scorer liga, mereka beresiko
cedera panjang dan tidak bisa membela klub, bahkan sepulang dari membela timnas
mereka mungkin saja digeser posisinya oleh pemain lain (beberapa klub
mendatangkan pemain baru selama piala Afrika baik secara pinjam maupun
permanen).
Namun bagi saya
sebagai penonton amatiran pengorbanan yang dilakukan para pemain itu seperti
setengah hati, mereka tidak bermain pada level tertingginya. Apakah ini terkait
dengan upah mereka? Atau ada hal lain yang menurunkan motivasi mereka?
Seharusnya ketika mereka memutuskan untuk membela negara mereka harus melakukan
seperti mereka membela klub bagaimanapun kondisi negara mereka. Mereka harus
menghormati pelatih timnas seperti mereka menghormati pelatih klub, mereka
harus menghargai supporter timnas, seperti mereka menghargai supporter klub,
dan mereka harus mengabdi pada kepala negara seperti mereka mengabdi pada
pemilik klub.
Miris rasanya jika
melihat kenyataan yang demikian. Saya salut jika ada seorang yang rela
meninggalkan kemewahan yang ditawarkan negara lain demi negara sendiri.
Contohnya ada pada mantan presiden Prof Habibie. Dia mendapat tawaran bekerja
di Jerman dengan segala jaminan yang menggiurkan tetapi beliau memilih pulang
ke Indonesia. Saya kira masih banyak Habibie-Habibie yang lain, yang masih
memiliki hasrat untuk berkarya bagi Indonesia dengan tulus, tidak peduli bahwa
negara ini tidak membayar setinggi negara lain, tidak peduli bahwa negara ini
tidak senyaman negara lain, dan tidak peduli bahwa negara ini tidak menjanjikan
apa-apa seperti janji negara lain kepada mereka. Peribahasanya “lebih baik
hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” meskipun
sebenarnya lebih baik lagi hujan emas di negeri sendiri.
So, silahkan
menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, tapi jangan lupa kembali ke Indonesia dan
berikanlah yang terbaik.