Selasa, 14 Februari 2012

Drogba berKTP Inggris


Drogba berKTP Inggris?
Yah Drogba sepertinya berKTP Inggris, demikian pula dengan kakak beradik Yaya dan Kolo Toure, juga Gervinho.  Kenapa saya bisa menyatakan demikian? Ini mungkin berawal dari kekesalan saya terhadap kekalahan Pantai Gading atas Zambia pada laga final piala Afrika dini hari tadi. Saya bukan penggemar berat Pantai Gading apalagi Zambia. Buat saya Pantai Gading dan Zambia sama-sama layak berada di partai final. Bedanya adalah Pantai Gading merupakan tim yang bertabur bintang yang rata-rata pemainya bermain di liga Eropa. Sebutlah Didier Drogba dan Salomon Kalou (Chelsea), Yaya dan Kolo Toure (Manchester City), dan Gervinho (Arsenal). Tapi prestasi mereka di kancah internasional tak segemerlap prestasi mereka di level Klub.


Kenapa bisa demikian? Analisa ngawur saya adalah mereka sudah terlalu lama tinggal di Inggris dan bermain bola dengan gaya Inggris sehingga lupa cara bermain ala Pantai Gading. Alasan yang kedua mungkin karena motivasi mereka untuk membela negara lebih kecil dari motivasi mereka membela klub masing-masing.
Ini yang menjadi concern saya. Bahwa membela negara terkadang menjadi persoalan yang berat untuk dilakukan. Membela negara adalah berkorban demi negara. Contoh ekstremnya adalah para pahlawan yang mengorbankan segalanya demi negara. Didier drogba dan kawan-kawan juga. Mereka rela meninggalkan ketatnya kompetisi liga prtimer Inggris demi membela negara di kancah piala Afrika. Bagi seorang pemain bola, bermain di liga sebesar liga Primer Inggris adalah impian semua pemain. Setiap caps yang mereka peroleh, setiap assist yang mereka buat, setiap gol yang mereka cetak, merupakan kebanggaan bagi mereka. Meninggalkan klub untuk berlaga di timnas masing-masing merupakan pengorbanan. Mereka beresiko kehilangan gelar top scorer liga, mereka beresiko cedera panjang dan tidak bisa membela klub, bahkan sepulang dari membela timnas mereka mungkin saja digeser posisinya oleh pemain lain (beberapa klub mendatangkan pemain baru selama piala Afrika baik secara pinjam maupun permanen).
Namun bagi saya sebagai penonton amatiran pengorbanan yang dilakukan para pemain itu seperti setengah hati, mereka tidak bermain pada level tertingginya. Apakah ini terkait dengan upah mereka? Atau ada hal lain yang menurunkan motivasi mereka? Seharusnya ketika mereka memutuskan untuk membela negara mereka harus melakukan seperti mereka membela klub bagaimanapun kondisi negara mereka. Mereka harus menghormati pelatih timnas seperti mereka menghormati pelatih klub, mereka harus menghargai supporter timnas, seperti mereka menghargai supporter klub, dan mereka harus mengabdi pada kepala negara seperti mereka mengabdi pada pemilik klub.
Miris rasanya jika melihat kenyataan yang demikian. Saya salut jika ada seorang yang rela meninggalkan kemewahan yang ditawarkan negara lain demi negara sendiri. Contohnya ada pada mantan presiden Prof Habibie. Dia mendapat tawaran bekerja di Jerman dengan segala jaminan yang menggiurkan tetapi beliau memilih pulang ke Indonesia. Saya kira masih banyak Habibie-Habibie yang lain, yang masih memiliki hasrat untuk berkarya bagi Indonesia dengan tulus, tidak peduli bahwa negara ini tidak membayar setinggi negara lain, tidak peduli bahwa negara ini tidak senyaman negara lain, dan tidak peduli bahwa negara ini tidak menjanjikan apa-apa seperti janji negara lain kepada mereka. Peribahasanya “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” meskipun sebenarnya lebih baik lagi hujan emas di negeri sendiri.
So, silahkan menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, tapi jangan lupa kembali ke Indonesia dan berikanlah yang terbaik.